Kamis, Juli 22, 2010

Komunikasi Lintas Budaya part 2

Komunikasi Lintas Budaya
Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud.


oleh: Nofiyah Mardiani

Beribukotakan Melonguane. Memiliki luas 1.251,02 km2 dan terbagi menjadi 8 kecamatan. Wilayahnya berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud di sebelah selatan, Laut Sulawesi di sebelah barat dan Samudera Pasifik di sebelah timur. Perkebunan masih tetap menjadi sentra kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Talaud. Pala, kopi, kakao, vanili, lada dan cengkeh masih bisa diandalkan. Namun dari keenam komoditas tersebut, pala yang diunggulkan. Tanaman yang sering dijadikan manisan initersebar merata di seluruh wilayah kecamatan. Sejak jaman penjajahan Belanda, pala sudah menjadi komoditas perdagangan penting.Proses pemeliharaannya yang mudah dan harga jualnya yang cukup tinggi merupakan faktor pendorong lain masyarakat Talaud menanam pala. Tidak hanya biji pala yang diperjualbelikan. Bunga pala yang disebut fuli juga bernilai ekonomis tinggi. Fuli biasanya digunakanuntuk bumbu masak dan minyak gosok. Perkebunan memang mendominasi kegiatan ekonomi pertanian Kepulauan Talaud. Namun, dibalik itu, kegiatan pertanian tanaman pangan masih menyimpan potensi. Hanya saja, semua potensi tersebut belum tergarap maksimal. Dukungan sarana dan prasarana pertanian seperti irigasi masih belum dikelola dengan baik. Padahal, jika potensi tanaman pangan digarap dengan maksimal, kebutuhan pangan di Talaud bisa langsung terpenuhi. Kelapa merupakan komoditas tanaman terbesar yang diahasilkan, akan tetapi daerah ini masih mengimpor minyak goreng dari Manado dan Bitung, hal ini dikarenakan industri pengolahan kelapa menjadi minyak goreng belum dikembangkan, begitu juga untuk industri pengolahan cengkeh dan pala juga belum tersedia. Selain memiliki komodutas unggulan dari perkebunan, wilayah maritim ini memiliki potensi perikanan laut dengan komoditinya berupa ikan tuna, kerapu, layang, cakalang, dan hasil budi daya laut seperti rumput laut, teripang, dan kerang mutiara. Di kawasan kepulauan ini hanya ada satu dermaga peangkapan ikan yakni di Pantai Dagho, Kecamatan Tamako, Pulau sangir Besar. Dari hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan ini berdampak besar juga terhadap perdagangan. Perdagangan menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk setelah pertanian. keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai akan lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar baik arus barang maupun jasa, daerah ini juga telah terdapat Bandara Melongauane yang terletak di Kepulauan Talaud, tiga buah Pelabuahan utama yaitu Pelabuhan Lirung, Pelabuhan Karatung, dan Pelabuhan Miangas, serta terdapat berbagai sarana dan prasarana pendukung diantaranya sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasiKabupaten Kepulauan Sangihe adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud pada tahun 2000. Ibu kota kabupaten ini adalah Tahuna. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.012,94 km² dan berpenduduk sebanyak 129.609 (2008).
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007, sebagian wilayah Kabupaten Sangihe dimekarkan menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atau disingkat Kabupaten Sitaro, yang diresmikan pada tanggal 23 Mei 2007.
Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Filipina), serta berada di bibir Samudera Pasifik. Wilayah kabupaten ini meliputi 3 klaster, yaitu Klaster Tatoareng, Klaster Sangihe, dan Klaster Perbatasan.

SEBAGAI DAERAH LINTAS BATAS NEGAR
Sebelum membahas sebagai daerah yang merupakan lintas batas negara (Border Crossing Area), perlu diceritakan sedikit mengenai latar belakang kawasan kepulauan ini. Kepulauan Sangihe-Talaud sudah dihuni sejak sekitar 4000 SM yang dibuktikan dengan penggalian situs gua Tuwo Mane’e, pulau Karakelang, pada tahun 1974. Seperti juga yang tertulis pada buku Negara Kertagama (1365) yang menyebutkan adanya kepulauan Talaud. Kemudian laporan dari seorang pedagang Cina dalam ekspedisi Cheng Ho tahun 1413-1415 sudah disebut kepulauan ini dengan nama Shao-shan. Sementara sebutan Sangir dan Talao digunakan oleh pelaut Iberian (Spanyol dan Portugis), seperti dalam ekspedisi Magellan tahun 1521. Pada Abad 16 masehi, kepulauan ini terkenal sebagai daerah yang berada pada jalur lintas niaga melalui propinsi NTT lewat Banggai, Ternate, sampai ke Manila atau Kep. Sulu. Sampai seorang James Francis Warren (1981) mengatakan bahwa pada periode 1768 hingga1898 kawasan laut Sulu merupakan jalur laut teramai. Perlu diingat bahwa penduduk Sulu adalah pelaut yang tangguh dan perompak laut yang menebar ketakutan. Salah satu sisa dari masa jaya Sulu ini dapat dijumpai dalam bahasa Tombulu di Minahasa, yaitu kata se manginginde, artinya “roh-roh jahat yang datang dari seberang air, dari Mindanao”. Namun masa jaya kerajaan Sangir Talaud ini mulai memudar seiring dengan bergesernya jalur lalulintas niaga dari perairan laut Sulu ke kawasan selatan yaitu Laut Jawa. Hal ini berlangsung ketika Indonesia berada dibawah kekuasaan Belanda yang memakai jalur laut dari benua Australia, Merauke, Papua, Banda, Ambon, Makasar, Laut Jawa, Batavia (Jakarta) ke Malaka sejak abad ke 17. Jalur niaga laut ini dipertahankan hingga masa pemerintahan kini Indonesia yang mengambil pusat arus barang dagangan Surabaya dan Jakarta. Akibat sistem sentralisasi membawa Sangir-Talaud menjadi daerah yang secara ekonomi-politik sebagai daerah yang tertinggal, yang dikalangan penduduk terdapat guyonan “kalau di Sulawesi Utara sudah merupakan daerah tertinggal (IDT), maka daerah Talaud adalah daerah yang paling terpencil dari IDT”. Perubahan jalur niaga ini membawa implikasi yang sangat negatif bagi ekonomi penduduk, walaupun sumber daya alam melimpah namun karena kurang mendapat perhatian pemerintah akhirnya rata-rata masyarakat Sangihe Talaud berprofesi sebagai petani/nelayan yang pendapatannya rend
.

Pulau Miangas dan Pulau Marore merupakan daerah perbatasan dengan Filipina dan menjadi check point lintas batas laut dengan negara tersebut. Walaupun secara tradisional, ada ikatan etnis antara penduduk pulau-pulau ini dengan penduduk di kawasan Selatan Pulau Mindanao. Penduduk yang melintasi batas negara ini tidak perlu menunjukan paspor, tetapi cukup dengan identitas yang dikeluarkan petugas lintas batas ini. Untuk jalur perhubungan udara, dua kali seminggu pesawat dari maskapai Merpati dan Bouraq terbang dari airport Sam Ratulangi ke Davao. Penumpang yang berangkat dari bandara Sam Ratulangi harus menunjukan paspor dan melewati kantor imigrasi. Sedang sesuai perjanjian lintas batas negara, bagi pemegang paspor yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi Sulawesi Utara tidak perlu membayar uang fiskal. Sementara untuk jalur laut ramai dengan kawasan Border Crossing Area yang meliputi kabupaten Sangir Talaud serta kawasan selatan Pulau Mindanao. Laporan Lanal Tahuna sampai Juni 2004 menyebutkan adanya 7 (tujuh) kapal asing yang melintas dan berbendera Australia, New Zealand, Inggris dan Namibia. Untuk jalur Marore lebih ramai dengan 96 kali pelintas dengan muatan penumpang dari 2 sampai 16 orang yang berkebangsaan Indonesia maupun Filipina sedang Miangas hanya 4 kali pelintas berbendera Filipina. Barang-barang yang dibawa umumnya campuran, misalnya minuman coca cola, balok es dan ikan campuran. Kedekatan geografis, asal kelompok etnis serta latar belakang sejarahnyalah yang membuat jalur lintas laut antar pulau ini relatif ramai..

ANALISIS
Karena kepulauan sangihe talaud berbatasan dengan nfilipina selatan, maka orang-orang yang ada di kepulauan tersebut memakai dua bahasa dalam komunikasi sehari-hari mereka. Mereka dapat berkomunikasi tidak hanya bahasa Indonesia (melayu) tetapi juga bahasa Filipina (tabalog). Dalam mata pencaharian mereka, sebagian mereka bekerja di Filipina. Pagi berangkat kerja ke Filipina, sorenya kembali lagi ke Indonesia. Oleh karena itu orang-orang yang berada dikepulauan sangihe talaud dapat menggunakan dua bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar