Jumat, Juli 23, 2010

Meneropong "Makna Spiritual Batik Jawa"

oleh: Umi Sokhiyah

Batik tidak hanya menampilkan keindahan wujud secara kasat mata. Melainkan juga menimpan kedalaman spiriytual yang dipancarka melalui motif-motifnya yang “sakral”. Tak mengherankan jika jenis kain kemudian rajin menyertai daur kehidupan masyarakat Jawa. Sejak lahir sampai ajal tiba.

Hal serupa pernah disampaikan oleh Sri Sultan HB X saat meresmikan Museum Batik di Kraton Yogyakarta 2005 silam. “Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal, dibungkus dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan. Khususnya dalam lingkungan keluarga.”

Kedekatan batik dengan kehidupan masyarakat Jawa telah menjadikannya bagian hidup yang tak terpisahkan. Melalui selembar kain dengan goresan warna lembut terlukis di atasnya, bisa terlihat gambaran hidup masyarakat Jawa secara keseluruhan. Itulah yang membuat batik menjadi karya seni sangat istimewa. Baik dalam proses pembuatan, filosofi yang terkandung, hingga etika dan tata cara pemakaiannya.

Sebagai pusaka warisan leluhur, proses pembuatan kain batik dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa. Merunut jauh ke belakang, kain yang bersumber dari dalam kraton dan menjadi ageman dalem ingkang sinuwun ini, tak jarang dibuat melalui serangkaian ritual tertentu. Apalagi dahulu, batik dikerjakan sendiri oleh putri-putri kraton.

“Dulu, mereka sering nglakoni yang terwujud dalam puasa dengan mengurangi diri dari makan, minum, tidur, dan kesenangan duniawi yang lain, serta bersemedi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik,” ungkap Ir Toetti T Soerjanto.

Menurut wanita yang mengaku sangat mencintai batik ini, pada zaman dulu membatik merupakan kegiatan yang penuh nilai rohani. Selain memerlukan pemusatan pikiran dan kesabaran, juga dilakukan dengan kebersihan jiwa untuk memohon petunjuk dari Gusti Yang Murbeng Dumadi agar mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari sinilah kemudian motif batik diyakini mengandung filosofi sesuai motifnya.

Hal senada diungkapkan oleh Mari S Condronegoro. Menurut wanita keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini, ritual yang mengiringi proses pembuatan batik biasanya adalah laku puasa. Dengan berpuasa, kata Mari, diharapkan akan muncul ketenangan diri hingga bisa mendapatkan ilham untuk menciptakan motif yang baru. Biasanya, semakin penting batik yang dibuat, semakin lama pula puasa dilakukan.

Selain puasa, dilakukan pula pembacaan doa-doa. Mengikuti dhawuh dalem dulu di mana Sultan merupakan seorang Panatagama, maka doa-doa yang dibaca adalah doa-doa muslim yang merupakan agama yang dianut oleh Sultan. Dengan ritual tersebut, diharapkan proses pembuatan batik akan berlangsung lancar. Syukur bisa menghasilkan batik bernilai tinggi yang bisa memancarkan aura bagi pemakainya atau “pecah pamore”. Terlebih bila batik yang dibuat itu ditujukan atau akan dipakai oleh sinuwun atau keluarga kraton yang lain.

Meski tidak terpaparkan secara gamblang, laku ritual yang mengiringi proses membatik juga terungkap dari beberapa sumber dari njeron beteng yang turun-temurun mendapat cerita dari eyang buyut dan leluhurnya. Disebutkan, ritual dilakukan secara bertahap sebelum proses pembuatan batik dimulai. Khususnya, jika batik tersebut akan diagem oleh raja, bupati, atau lurah.

Pertama, mengadakan selamatan yang dilanjutkan dengan puasa. Kedua, menyiapkan uba rampe berbentuk kembang setaman dan jajan pasar yang diletakkan di dekat tempat yang akan digunakan untuk membatik. Waktu untuk memulai proses pembuatan batik juga dihitung berdasarkan neton atau hari lahir dan pasaran orang yang nantinya akan mengenakannya.

“Selain itu, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,” ujarnya.

Terlepas dari percaya atau tidak, ada satu pengalaman tersendiri yang dialami oleh Larasati Soeliantoro Soeleman saat akan membuat kampuh untuk pernikahan salah satu putrinya dulu. Saat itu, wanita yang mengkoleksi batik-batik Jawa klasik ini meminta tolong perajin batik di Imogiri untuk membuatkan kain tersebut.

Ketika proses berlangsung, ternyata lilin batik tidak bisa keluar dari lubang canting meski berulang kali dibersihkan. Perajin batik yang mengerjakan akhirnya mengusulkan untuk mengadakan selamatan beserta pembacaan doa-doa dulu sebelum proses batik dilanjutkan. “Believe it or not, setelah ritual tersebut akhirnya pekerjaan itu berlangsung lancar,” ujar wanita yang selalu mengenakan batik ini.

Kendati begitu, diakuinya sekarang ini jarang sekali menjumpai ritual-ritual yang mengiringi proses pembuatan batik. Barangkali, selain karena motif yang dibuat kebanyakan tinggal menjimplak, juga karena batik sekarang telah diproduksi secara massal.

Filosofi pola batik

Selain proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual khusus, batik juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Hal ini terkait dengan sejarah penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh sinuwun, permaisuri atau putri-putri kraton yang semuanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya.

Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.

Pola Parang Rusak Barong, diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata “barong” berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Merupakan induk dari semua pola parang, pola barong dulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Menurut penuturan Mari S Condronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927. “Selain motif Parang Rusak Barong, motif Batik Larangan pada zaman itu adalah, motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran,” jelasnya.

Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Sedangkan motif Udan Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.

Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut, Mlinjon, Tritis, ada-ada dan Untu Walang yang diatur diagonal memanjang ini bermakna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Motif lain Sawat bermakna ketabahan hati. Sedangkan motif Cemungkiran yang berbentuk seperti lidah api dan sinar merupakan unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh raja dan putra mahkota.

Seiring dengan perkembangan zaman, Batik Larangan sudah tidak sekuat dulu lagi dalam penerapannya. Bahkan, motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar tembok kraton. Kendati begitu, Mari S Condronegoro dan GBRAy Hj Murdhokusumo mengimbau masyarakat umum yang bukan kerabat kraton untuk tidak mengenakan motif tersebut, terutama Parang Rusak Barong saat berada di dalam tembok kraton, untuk menjaga wibawa Sultan.

Lebih lanjut, Gusti Murdhokusumo mengatakan bahwa batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia Jawa sejak lahir hingga ajal tiba. Menurutnya, ada beberapa motif batik yang sebaiknya dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Jawa. Peristiwa kelahiran, misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti sang nenek.

Untuk pernikahan, disarankan mempelai mengenakan kain batik dengan motif yang berawalan dengan “sida”, seperti Sidamulya, Sidaluhur, Sida Asih, dan Sidomukti. Atau kalau tidak, bisa mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet. Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang.

“Yang pasti, pengantin jangan mengenakan motif Parang Rusak agar rumah tangganya terhindar dari kerusakan dan malapetaka,” ungkapnya. Sebaliknya, ketika akan melayat ke tempat keluarga yang sedang kesripahan (meninggal dunia) maka sebaiknya mengenakan kain batik yang berwarna dasar hitam dan menghindari batik dengan warna dominan putih seperti motif parang. Jenis batik yang cocok untuk melayat, misalnya motif Semen Gurda atau motif lain yang warna dasar senada.

Etika mengenakan batik

Memahami makna filosofis dari setiap motif batik yang ada, ternyata belum bisa menjadi jaminan untuk bisa mengenakan busana batik secara benar. Sebab, masih ada serangkaian etika berikut tata cara pemakaiannya. Setiap motif, kata GBRAy Hj Murdhokusumo, membutuhkan cara pemakaian yang berbeda-beda. Baik dari penempatan waktu dan tempatnya maupun dari sisi pemakainya.

Untuk batik dengan motif Lereng, misalnya, ketika dikenakan kaum wanita harus dimulai dari kiri ke kanan. Maksudnya, kain mulai diikatkan dari sebelah kiri sehingga ujung kain akan berakhir di sebelah kanan. Sebaliknya untuk laki-laki dimulai dari sisi kanan dan ujungnya berakhir di sebelah kiri. Selain itu, garis lereng atau parang-nya harus mengadap ke bawah.

Mengenakan kain batik tak bisa dipisahkan dengan urusan wiru. Untuk melipat wiru, dimulai dengan warna putih berada di arah luar dan “wiron” harus jatuh di atas paha kanan untuk putri. Sedangkan untuk laki-laki, wiru berada di tengah dan menghadap ke arah kiri. Biasanya, wiron untuk laki-laki lipatannya lebih besar dibanding wiron untuk kain yang dikenakan perempuan.

Di lingkungan kraton, bagi generasi cucu laki-laki ke bawah dan abdi dalem, sebaiknya mengenakan wiru engkol. Sedang untuk putri, tergantung dhawuh dalem. Harus pakai wiron atau seredhan (kain yang tidak diwiru), Hal yang terlihat sepele tapi penting adalah jika mengenakan motif Gurdha, motif binatang atau kembang, maka ceploknya harus menghadap ke atas.

Saat mengenakan kain batik, tutur Mari Condronegoro, bagian mata kaki harus tertutup. Begitupun untuk bagian atas, terutama bagi perempuan, sebaiknya dibuat agak longgar sehingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya. Sepintas, potongan seperti ini terkesan tidak rapi, tetapi memang seperti inilah etika yang harus dipatuhi.

Begitulah, dari ribuan motif atau pola tradisional yang ada, dalam kesempatan ini hanya beberapa yang diuraikan karena keterbatasan ruang. Apalagi untuk menganalisa makna filosofis dari simbol-simbol yang terkadang bersifat ganda dan menyejarah, diperlukan interpretasi dan reinterpretasi makna yang cerdas, jujur dan dengan kesungguhan agar makna-makna yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat Dan, dengan begitu akan bisa menambah pemahaman dan kecintaan kita terhadap batik. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan nguri-uri warisan budaya adiluhung itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar