Jumat, Juli 23, 2010

SEMIOTIKA
oleh : Supriyani


Jika kita menyukai apa yang namanya puisi pasti mengenal istilah keilmuan semiotika. Semiotika sendiri berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda. Dari penjelasan diatas tentunya semiotika dapat dijadikan referensi untuk mengkaji sebuah sajak.
Menganalisis sajak itu bertujuan memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti, medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum digunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa; sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang-lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat. Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda-tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah, misalnya, gambar kuda menandai kuda yang nyata. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Misalnya, asap menandai api. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, Hubungan keduanya bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat. Misalnya, kata ibu berarti ‘orang yang melahirkan kita’ dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat ( sastra) karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih tinggi (atas) kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra itu,. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning) untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (signified). Apa yang dimaksud makna sajak (karya sastra) itu bukan semata-mata itu bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi) daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjambement, sajak, baris sajak, ulangan, dan yang lainnya lagi.
Sastrawan dalam membentuk sistem dan maknanya dalam karya sastranya harus mempertimbangkan juga konvensi bahasanya sebab bila ia sama sekali meninggalkannya, maka karyanya tidak dapat dimengerti dan dipahami oleh pembaca. Puisi sajak secara semiotik seperti telah dikemukakan merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi. Memahami sajak tidak lain dari memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap mkna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata-mata karena arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Dengan demikian, teranglah bahwa untuk mengkaji puisi (sajak) perlulah analisis struktural dan semiotik, mengingat bahwa sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.
Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra, di sini sajak khususnya, sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak atau hubungan dalam (internal) antara unsur-unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan berfungsi itu misalnya alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat (gaya bahasa), satuan visual, seperti tipografi, enjambement, satuan baris (bait) dan sebagainya.
Bagaimanapun juga, karena sastra itu karya (imajinatif) yang bermedium bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya sastra itu adalah tanda-tanda kebahasaan meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan konvensi tambahan. Konvensi tambahan itu diataranya : perulangan, persajakan, tipografi, pembagian baris sajak, pembaitan, persejajaran, makna kiasan karena konteks dalam struktur yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sastra. Tentu saja tanda-tanda tersebut erat hubungannya dengan tanda kebahasaan misalnya saja ulangan tidak terpisahkan dengan kata-kata yang diulang-ulang atau kalimat yang diulang, yang semuanya menimbulkan ulangan bunyi dan menimbulkan efek intensitas, atau efek liris, atau efek yang lain. Maka dalam analisis sajak terutama dicari tanda-tanda kebahasaan dan baru sesudah itu dicari (dianalisis) tanda-tanda (tambahan) yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.
SumberReferensi: http://anaksastra.blogspot.com/2009/05/analisis-semiotik.html 18/06/2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar